Dumonduh.com -Pemerintahan Donald Trump dijadwalkan akan memberikan keputusan terkait hasil negosiasi perdagangan dengan Indonesia dalam waktu dua bulan ke depan. Salah satu isu utama yang diangkat Indonesia dalam perundingan ini adalah permintaan untuk mempertahankan tarif impor yang rendah.
Sejalan dengan upaya tersebut, sejumlah menteri dari kabinet Prabowo Subianto dijadwalkan melakukan serangkaian pertemuan penting dengan pihak Amerika Serikat dalam forum-forum internasional. Tujuannya adalah untuk mengarahkan hasil perundingan agar sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.
Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari CORE, menilai bahwa Indonesia perlu bersikap strategis dan waspada selama proses ini. Ia menekankan bahwa karakter kepemimpinan Trump cenderung mengedepankan kepentingan jangka pendek AS dan sering kali menggunakan tekanan berupa tarif sepihak dalam perjanjian dagang.
"Trump cenderung mencari keuntungan cepat untuk AS dan tidak menyukai hubungan dagang yang terlalu berimbang," jelas Yusuf pada Sabtu (19/4).
Menurutnya, hasil perundingan yang paling ideal bagi Indonesia adalah tetap terbukanya akses ekspor tanpa tambahan beban tarif, terutama untuk produk-produk seperti tekstil, furnitur, alas kaki, dan barang elektronik ringan. Ia berharap Indonesia bisa memperoleh perlakuan istimewa seperti yang sebelumnya diraih Vietnam, meski mengakui peluang itu kecil.
"Kita harus mampu menunjukkan bahwa produk kita tidak mengancam industri dalam negeri AS, dan itu bukan hal yang mudah. Apalagi jika Trump kembali mengedepankan kebijakan America First," tambahnya.
Yusuf juga menggarisbawahi bahwa posisi tawar Indonesia terbatas karena secara ekonomi, Indonesia tidak setara dengan negara-negara besar seperti China atau Uni Eropa. Namun demikian, ia menyebutkan masih ada ruang negosiasi, seperti dengan menawarkan kerja sama strategis di sektor yang menjadi perhatian AS saat ini—contohnya pasokan bahan baku energi dan industri semikonduktor.
Selama masa negosiasi 60 hari ini, Yusuf berharap pemerintah Indonesia bisa menjaga akses pasar ekspor ke AS, sembari tetap melindungi pasar dalam negeri agar tetap kompetitif bagi produk-produk lokal.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira melihat ada sejumlah peluang kerja sama strategis yang bisa dimanfaatkan, seperti di sektor mineral kritis: nikel, tembaga, dan bauksit.
"Selama ini, partisipasi perusahaan AS dalam sektor mineral kritis Indonesia masih tergolong rendah, baik sebagai investor maupun pembeli. Padahal 90 persen ekspor nikel olahan kita saat ini masih ke China," ujar Bhima.
Ia menilai, keterlibatan AS bisa membantu diversifikasi pasar ekspor Indonesia sekaligus menghadirkan investor yang lebih baik dari segi tata kelola lingkungan dan perlindungan tenaga kerja.
Sebelumnya, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Marie Elka Pangestu telah melakukan pertemuan dengan US Secretary of Commerce Howard Lutnick serta US Trade Representative (USTR) Jamieson Greer.
Negosiasi mencakup sejumlah hal, seperti rencana peningkatan pembelian energi dari AS—termasuk LPG, minyak mentah, dan bensin—serta peningkatan impor produk agrikultur seperti gandum, kedelai, dan susu kedelai. Indonesia juga berencana memperbesar pembelian barang modal dari AS.
Pemerintah bahkan membuka peluang pemberian insentif pajak dan kemudahan perizinan bagi perusahaan AS yang tertarik berinvestasi di Indonesia, meskipun detail insentif tersebut belum dijelaskan secara terbuka oleh Airlangga.
0Komentar