Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Praswad Nugraha, menegaskan bahwa pemberian sanksi terhadap 13 korporasi yang diduga memperoleh keuntungan dari skandal penjualan solar bersubsidi harus dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Menurutnya, bentuk sanksi dapat berupa denda dalam jumlah besar, pencabutan izin usaha, bahkan pembubaran korporasi bila terbukti bersalah. Ia menilai, efek jera tidak hanya ditentukan oleh besarnya denda, tetapi juga oleh kepastian hukum dan penegakan yang adil tanpa diskriminasi.
“Jika sebuah perusahaan terbukti melakukan tindak pidana, sanksi harus dijatuhkan secara maksimal dan proporsional untuk memulihkan kerugian negara serta mengembalikan rasa keadilan publik,” ujar Praswad kepada inilah.com, dikutip Minggu (19/10/2025).
Praswad juga mengingatkan agar proses penetapan tersangka, baik terhadap individu maupun korporasi, tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Ia menekankan bahwa penetapan tersebut harus didasarkan pada alat bukti permulaan yang cukup, sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana.
Apabila penetapan tersangka dilakukan tanpa bukti kuat, lanjutnya, hal itu dapat menimbulkan kesalahan yudisial (judicial error) yang justru merusak kredibilitas penegakan hukum.
“Kita harus tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah hingga proses pengadilan selesai. Unsur utama yang perlu dibuktikan adalah adanya mens rea atau niat jahat dari masing-masing korporasi sebelum penetapan tersangka dilakukan,” jelasnya.
Praswad menilai kasus ini menjadi ujian penting bagi kredibilitas Kejaksaan Agung (Kejagung). Sejarah menunjukkan, penanganan kasus korupsi berskala besar sering kali diwarnai dinamika dan potensi intervensi.
“Keberhasilan Kejagung dalam menelusuri aliran dana, menentukan tersangka dengan tepat, serta bertindak tanpa terburu-buru maupun berlarut-larut, akan menjadi ukuran independensi dan komitmen lembaga ini dalam memberantas korupsi,” tambahnya.
Ia juga menegaskan, masyarakat kini menunggu langkah konkret Kejagung yang transparan dan berintegritas untuk memastikan hukum berlaku setara bagi semua pihak.
Publik saat ini menantikan keberanian Kejagung dalam memeriksa sejumlah pengusaha besar yang perusahaannya diduga memperoleh keuntungan miliaran rupiah dari praktik penjualan solar dengan harga jauh di bawah standar.
Beberapa nama besar yang disebut antara lain Boy Thohir (Adaro Group), Franky Widjaja (Sinarmas Group), dan Djony Bunarto Tjondro (Astra Group).
Berikut daftar 13 korporasi yang disebut menikmati keuntungan dari praktik tersebut beserta nilai yang diduga diperoleh:
-
PT Pamapersada Nusantara (PAMA) – Grup Astra (PT United Tractors Tbk): Rp958,38 miliar
-
PT Berau Coal – Sinarmas Group: Rp449,10 miliar
-
PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) – Delta Dunia Group (DOID): Rp264,14 miliar
-
PT Merah Putih Petroleum – PT Energi Asia Nusantara & Andita Naisjah Hanafiah: Rp256,23 miliar
-
PT Adaro Indonesia – Adaro Group (keluarga Thohir): Rp168,51 miliar
-
PT Ganda Alam Makmur – Titan Group (kerja sama dengan LX International, Korea): Rp127,99 miliar
-
PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM) – Banpu Group (Thailand): Rp85,80 miliar
-
PT Maritim Barito Perkasa – Adaro Logistics / Adaro Group: Rp66,48 miliar
-
PT Vale Indonesia Tbk – Vale S.A (Brasil): Rp62,14 miliar
-
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk – Heidelberg Materials AG (Jerman): Rp42,51 miliar
-
PT Purnusa Eka Persada / PT Arara Abadi – Sinar Mas Group (APP / Sinarmas Forestry): Rp32,11 miliar
-
PT Aneka Tambang (Antam) Tbk – BUMN (MIND ID): Rp16,79 miliar
-
PT Nusa Halmahera Minerals (PTNHM) – PT Indotan Halmahera Bangkit & PT Antam Tbk: Rp14,06 miliar
0Komentar