Kontroversi terkait utang besar proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Kereta Whoosh, yang mencapai Rp116 triliun, kembali mencuat ke publik.

Analis Kebijakan Publik Agus Pambagio mendesak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk bersikap transparan terhadap hasil audit proyek tersebut. Menurutnya, banyak kejanggalan yang terungkap sehingga wajar jika masyarakat mencurigai adanya praktik korupsi.
“Ya, audit tentu sudah dilakukan oleh BPK maupun BPKP,” ujar Agus kepada inilah.com di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).

Sebelumnya, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Prasetyo, meminta Mahfud Md dan masyarakat luas agar melaporkan dugaan adanya mark-up pada proyek KCJB jika memang memiliki bukti awal yang menunjukkan potensi penyimpangan keuangan negara.

“KPK mengimbau siapa pun yang memiliki informasi atau data awal terkait dugaan korupsi untuk menyampaikannya ke KPK melalui saluran pengaduan masyarakat,” tutur Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (16/10/2025).

Budi juga menegaskan, setiap laporan sebaiknya disertai dokumen atau data pendukung agar proses verifikasi dan analisis dapat dilakukan dengan lebih akurat. Berdasarkan hasil telaah awal, KPK akan menentukan apakah kasus tersebut berada dalam ranah kewenangannya.

Jika memang terbukti, KPK akan menindaklanjuti laporan itu melalui langkah penindakan, pencegahan, edukasi, atau koordinasi dan supervisi. “Dalam beberapa kasus, laporan juga bisa diteruskan ke unit pengawasan internal lembaga terkait sebagai bentuk perbaikan sistem,” tambahnya.

Namun, Mahfud Md, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), justru mempertanyakan sikap KPK yang seolah menunggu laporan dari dirinya mengenai dugaan mark-up proyek Kereta Whoosh tersebut.

Menurut Mahfud, lembaga antirasuah seharusnya bisa langsung menindaklanjuti dugaan pelanggaran tanpa harus menunggu adanya laporan resmi.
“Kalau ada dugaan seperti itu, tak perlu menunggu laporan. Langsung saja diselidiki. Tidak masuk akal kalau harus menunggu laporan,” ujar Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).

Mahfud mengaku mengetahui isu itu pertama kali dari diskusi antara Agus Pambagio dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), di salah satu stasiun televisi nasional. Keduanya membahas beban utang besar yang membelit proyek Kereta Whoosh.

Mahfud kemudian menyinggung persoalan tersebut dalam sebuah podcast, dan bahkan menyarankan agar KPK memanggil Anthony Budiawan untuk dimintai keterangan lebih lanjut mengenai dugaan adanya mark-up biaya proyek.

Dugaan Pembengkakan Biaya

Managing Director PEPS, Anthony Budiawan, menilai ada indikasi kuat terjadinya korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang kini dikenal sebagai Kereta Whoosh.

“Karena menimbulkan beban keuangan yang sangat berat dan bahkan memicu kegaduhan di internal pemerintah, BPK atau BPKP seharusnya segera melakukan audit menyeluruh terhadap proyek Kereta Whoosh. Saya yakin ada sesuatu yang tidak beres di sana,” ujar Anthony di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).

Menurut perhitungan Anthony, total biaya pembangunan proyek tersebut mencapai US$7,27 miliar atau sekitar Rp118,37 triliun (dengan kurs Rp16.283/US$). Angka ini sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar, yang dinilainya terlalu tinggi.

Ia membandingkan, proyek kereta cepat di China rata-rata menelan biaya sekitar US$17 juta hingga US$30 juta per kilometer, sedangkan pembangunan Kereta Whoosh mencapai US$52 juta per kilometer.

Dengan menggunakan asumsi biaya rata-rata US$25 juta per kilometer di China, maka proyek Kereta Whoosh dengan panjang lintasan 142,3 kilometer dinilai lebih mahal sekitar US$27 juta per kilometer.

“Perkiraan saya, biaya proyek Kereta Whoosh lebih mahal sekitar 40–50 persen dibandingkan dengan proyek sejenis di China. Tapi untuk memastikan, tentu perlu dilakukan audit resmi,” jelas Anthony.

Karena sebagian besar pembiayaan proyek ini—sekitar 75 persen—bersumber dari pinjaman China Development Bank (CDB), menurut Anthony, pemerintah kini kesulitan menanggung beban utang tersebut.

Persoalan utang besar ini bahkan disebut sempat memicu ketegangan antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan CEO BPI Danantara Indonesia, Rosan P. Roeslani.